Surabaya - Sosialisasi
Pilkada yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Surabaya pada tahun ini
dinilai buruk daripada tahun-tahun sebelumnya. Hal tersebut diungkapkan oleh
Drs. A.H. Thony, M. Si, selaku Ketua Pokja Koalisi Majapahit. Ditemui di sela-sela kesibukannya, pria yang akrab
disapa Thony ini menjelaskan faktor-faktor yang melandasi penilaiannya terhadap
kualitas sosialisasi yang telah dilakukan oleh KPU menjelang Pilkada Surabaya 2015.
Salah satunya adalah adanya keterlambatan dalam melakukan sosialisasi. Sosialisasi
yang dilakukan oleh KPU dapat menggunakan berbagai cara. Selain publikasi
melalui media massa, alat peraga juga menjadi salah satu alternatif cara untuk
melakukan sosialisasi. Alat peraga tersebut dapat dipasang di tempat-tempat
strategis dengan jumlah yang berimbang. Sayangnya, proses pencalonan walikota
dan wakil walikota yang mengalami kemunduran hingga satu bulan menyebabkan
sosialisasi yang dilakukan KPU terlambat. Akibatnya, baik pasangan calon maupun
masyarakat sama-sama dirugikan. “Ketika sosialisasi (re: yang dilakukan oleh
KPU) mundur, masyarakat rugi, calon juga rugi. Pasangan calon akhirnya tidak
dikenal oleh masyarakat, sedangkan masyarakat juga tidak memperoleh informasi
dengan cepat tentang pasangan calon,” ujar Thony.
Pengamanan
alat peraga yang kurang juga menjadi alasan Thony menilai buruk sosialisasi
yang dilakukan KPU. Tidak sedikit alat peraga yang baru saja dipasang lantas dirobek oleh pihak-pihak tertentu. Melihat kondisi alat peraga yang rusak, KPU tidak segera melakukan penanganan. Alat peraga yang rusak tersebut pun tetap terpasang. Menurut
Thony, keadaan seperti itu tidak hanya merugikan pasangan calon saja, tetapi
juga masyarakat Surabaya yang menjadi sasaran sosialisasi. Ketika ditanya
mengenai bagaimana seharusnya pengamanan yang dilakukan oleh KPU, Thony mengungkapkan
bahwa seharusnya KPU harus memiliki komitmen dengan warga untuk menjaga dan
menjamin alat peraga tersebut tetap aman. “Apakah alat peraga itu dititipkan ke
salah satu masyarakat yang berketempatan alat peraga itu atau tidak, kan begitu seharusnya,” imbuhnya.
Thony
juga menilai KPU kurang menjelaskan program kerja dari para pasangan calon
walikota dan wakil walikota Surabaya. Sejauh ini, KPU hanya menyuguhi
masyarakat dengan nama dan foto dari pasangan calon saja. “Masyarakat sekarang
ini buta, hanya disuguhi nama dan foto saja. Padahal masyarakat tidak butuh
cawalinya ganteng atau tidak, cantik atau tidak, tapi program kerjanya. Lha sekarang program kerjanya yang
penting malah tidak disosialisasikan,” ungkap Thony. Thony menegaskan
seharusnya sosialisasi tidak hanya sekedar memberi informasi tentang siapa
pasangan calonnya, tetapi program kerja dari masing-masing pasangan calon juga
harus disampaikan dengan jelas. “Misalnya Bu Risma, mau membawa isu penting
apa, mau menjanjikan apa. Pak Rasiyo juga begitu, menjanjikan apa,” tambahnya.
Sosialisasi yang dilakukan KPU kepada kelompok tunanetra juga menuai kritik dari Thony. Sosialisasi tersebut dinilai belum efektif. Menurutnya, berdasarkan pengamatan dalam pemilu-pemilu sebelumnya, KPU memang sudah melakukan sosialisasi, tetapi
ketika pencoblosan kelompok tunanetra itu tidak diberikan fasilitas agar bisa
berpartisipasi dalam pemilu. “Ya umpamanya
mereka tinggal di panti, tapi di panti itu nggak
disediakan TPS. Jadinya kan ya banyak
yang nggak ikut nyoblos,” ungkap Thony. Pria berkacamata itu berpendapat, selain
KPU memberikan sosialisasi, seharusnya KPU juga melakukan ‘jemput bola’.
Golongan masyarakat tertentu yang memiliki kebutuhan khusus seperti penyandang
cacat, tunanetra atau bahkan yang sedang sakit, perlu didatangi oleh panitia
Pemilu ke rumah mereka masing-masing. Sehingga mereka bisa menggunakan hak
suaranya dengan baik.
Kualitas sosialisasi yang buruk belum
tentu mempengaruhi keputusan masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya
atau golput. Pendapat tersebut dikemukakan oleh Thony. Golput muncul dari berbagai hal, tidak hanya sekedar dari
kurangnya sosialisasi, tetapi bisa juga karena masyarakat tidak percaya dengan
pasangan calon atau apolitis, menganggap politik sudah tidak bagus lagi. Selain
itu, alasan lain masyarakat memilih golput juga bisa karena memiliki kesibukan
pada saat pencoblosan, sehingga tidak bisa berpartisipasi. “Justru
kadang-kadang orang yang golput itu ngerti
sebetulnya pemilu kapan, siapa calonnya, kualitasnya gimana, dia juga punya waktu untuk mencoblos. Hanya saja dia enggan
untuk berpartisipasi, karena faktor trust
politiknya sudah nggak ada,” kata alumnus Universitas Gajah Mada itu.
KPU memiliki peranan penting untuk mengurangi angka golput. Thony mengungkapkan seharusnya KPU mampu memberikan
daya tarik kepada masyarakat dan menjelaskan bahwa pemungutan suara merupakan
hal yang penting bagi masyarakat, sehingga masyarakat memutuskan untuk
berpartisipasi. “Karena menurut saya ikut pemilu itu pintu untuk merubah
kondisi menjadi lebih baik, pintu untuk merealisasikan keinginan-keinginan
masyarakat,” ujarnya. Selain itu, KPU juga perlu menegaskan kepada masyarakat
tentang komitmen-komitmen para pasangan calon dan apa saja program kerjanya,
bukan hanya nama dan wajahnya saja.
Thony
berharap, pada periode mendatang, KPU bisa melakukan sosialisasi secara
berimbang. Lebih baik, dikembalikan pada sistem yang lama, dimana biaya alat
peraga untuk sosialisasi ditanggung oleh masing-masing pasangan calon. “Kalau
sistem yang sekarang ini kan hanya memindahkan beban saja, kalau dulu
ditanggung oleh para pasangan calon, sekarang ditanggung oleh negara,” ujarnya. Pilkada tahun ini memang menggunakan sistem yang berbeda dengan periode-periode sebelumnya. Alat dan bahan yang digunakan para pasangan calon untuk berkampanye ditanggung oleh KPU. Tujuannya, agar para pasangan
calon tidak mengeluarkan banyak biaya, sehingga ketika nanti terpilih menjadi
walikota, mereka tidak melakukan korupsi untuk mengembalikan modal saat
berkampanye. Hanya saja, sistem yang baru ini juga tidak efektif. Terbatasnya
anggaran negara untuk sosialisasi Pilkada juga membatasi jumlah alat peraga
yang dikeluarkan. Sosialisasi yang dilakukan pun tidak merata, sehingga tidak
banyak yang mengetahui alat peraga yang telah dipasang. “Kalau modal dikeluarkan
oleh negara, justru negara sudah dirugikan lebih awal. Sosialisasinya tidak
kena, negara sudah mengeluarkan biaya, nggak
efektif kan?” ucap Thony sambil
menghisap rokoknya. Thony mengaku bahwa tidak ada sistem yang sempurna. Setiap
sistem memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. “Serba salah jadinya.
Semua ada plus minusnya. Kalau
dikendalikan oleh negara melalui KPU, anggapannya baik ternyata juga enggak,” imbuhnya.
No comments:
Post a Comment