Monday, October 26, 2015

Proses Pencalonan Diundur, Sosialisasi KPU Dinilai Buruk

Sabtu, 24 Oktober 2015


Surabaya - Sosialisasi Pilkada yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Surabaya pada tahun ini dinilai buruk daripada tahun-tahun sebelumnya. Hal tersebut diungkapkan oleh Drs. A.H. Thony, M. Si, selaku Ketua Pokja Koalisi Majapahit. Ditemui di sela-sela kesibukannya, pria yang akrab disapa Thony ini menjelaskan faktor-faktor yang melandasi penilaiannya terhadap kualitas sosialisasi yang telah dilakukan oleh KPU menjelang Pilkada Surabaya 2015. Salah satunya adalah adanya keterlambatan dalam melakukan sosialisasi. Sosialisasi yang dilakukan oleh KPU dapat menggunakan berbagai cara. Selain publikasi melalui media massa, alat peraga juga menjadi salah satu alternatif cara untuk melakukan sosialisasi. Alat peraga tersebut dapat dipasang di tempat-tempat strategis dengan jumlah yang berimbang. Sayangnya, proses pencalonan walikota dan wakil walikota yang mengalami kemunduran hingga satu bulan menyebabkan sosialisasi yang dilakukan KPU terlambat. Akibatnya, baik pasangan calon maupun masyarakat sama-sama dirugikan. “Ketika sosialisasi (re: yang dilakukan oleh KPU) mundur, masyarakat rugi, calon juga rugi. Pasangan calon akhirnya tidak dikenal oleh masyarakat, sedangkan masyarakat juga tidak memperoleh informasi dengan cepat tentang pasangan calon,” ujar Thony.
Pengamanan alat peraga yang kurang juga menjadi alasan Thony menilai buruk sosialisasi yang dilakukan KPU. Tidak sedikit alat peraga yang baru saja dipasang lantas dirobek oleh pihak-pihak tertentu. Melihat kondisi alat peraga yang rusak, KPU tidak segera melakukan penanganan. Alat peraga yang rusak tersebut pun tetap terpasang. Menurut Thony, keadaan seperti itu tidak hanya merugikan pasangan calon saja, tetapi juga masyarakat Surabaya yang menjadi sasaran sosialisasi. Ketika ditanya mengenai bagaimana seharusnya pengamanan yang dilakukan oleh KPU, Thony mengungkapkan bahwa seharusnya KPU harus memiliki komitmen dengan warga untuk menjaga dan menjamin alat peraga tersebut tetap aman. “Apakah alat peraga itu dititipkan ke salah satu masyarakat yang berketempatan alat peraga itu atau tidak, kan begitu seharusnya,” imbuhnya.
Thony juga menilai KPU kurang menjelaskan program kerja dari para pasangan calon walikota dan wakil walikota Surabaya. Sejauh ini, KPU hanya menyuguhi masyarakat dengan nama dan foto dari pasangan calon saja. “Masyarakat sekarang ini buta, hanya disuguhi nama dan foto saja. Padahal masyarakat tidak butuh cawalinya ganteng atau tidak, cantik atau tidak, tapi program kerjanya. Lha sekarang program kerjanya yang penting malah tidak disosialisasikan,” ungkap Thony. Thony menegaskan seharusnya sosialisasi tidak hanya sekedar memberi informasi tentang siapa pasangan calonnya, tetapi program kerja dari masing-masing pasangan calon juga harus disampaikan dengan jelas. “Misalnya Bu Risma, mau membawa isu penting apa, mau menjanjikan apa. Pak Rasiyo juga begitu, menjanjikan apa,” tambahnya.
Sosialisasi yang dilakukan KPU kepada kelompok tunanetra juga menuai kritik dari Thony. Sosialisasi tersebut dinilai belum efektif. Menurutnya, berdasarkan pengamatan dalam pemilu-pemilu sebelumnya, KPU memang sudah melakukan sosialisasi, tetapi ketika pencoblosan kelompok tunanetra itu tidak diberikan fasilitas agar bisa berpartisipasi dalam pemilu. “Ya umpamanya mereka tinggal di panti, tapi di panti itu nggak disediakan TPS. Jadinya kan ya banyak yang nggak ikut nyoblos,” ungkap Thony. Pria berkacamata itu berpendapat, selain KPU memberikan sosialisasi, seharusnya KPU juga melakukan ‘jemput bola’. Golongan masyarakat tertentu yang memiliki kebutuhan khusus seperti penyandang cacat, tunanetra atau bahkan yang sedang sakit, perlu didatangi oleh panitia Pemilu ke rumah mereka masing-masing. Sehingga mereka bisa menggunakan hak suaranya dengan baik.
Kualitas sosialisasi yang buruk belum tentu mempengaruhi keputusan masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau golput. Pendapat tersebut dikemukakan oleh Thony. Golput muncul dari berbagai hal, tidak hanya sekedar dari kurangnya sosialisasi, tetapi bisa juga karena masyarakat tidak percaya dengan pasangan calon atau apolitis, menganggap politik sudah tidak bagus lagi. Selain itu, alasan lain masyarakat memilih golput juga bisa karena memiliki kesibukan pada saat pencoblosan, sehingga tidak bisa berpartisipasi. “Justru kadang-kadang orang yang golput itu ngerti sebetulnya pemilu kapan, siapa calonnya, kualitasnya gimana, dia juga punya waktu untuk mencoblos. Hanya saja dia enggan untuk berpartisipasi, karena faktor trust politiknya sudah nggak ada,” kata alumnus Universitas Gajah Mada itu.
KPU memiliki peranan penting untuk mengurangi angka golput. Thony mengungkapkan seharusnya KPU mampu memberikan daya tarik kepada masyarakat dan menjelaskan bahwa pemungutan suara merupakan hal yang penting bagi masyarakat, sehingga masyarakat memutuskan untuk berpartisipasi. “Karena menurut saya ikut pemilu itu pintu untuk merubah kondisi menjadi lebih baik, pintu untuk merealisasikan keinginan-keinginan masyarakat,” ujarnya. Selain itu, KPU juga perlu menegaskan kepada masyarakat tentang komitmen-komitmen para pasangan calon dan apa saja program kerjanya, bukan hanya nama dan wajahnya saja.
Thony berharap, pada periode mendatang, KPU bisa melakukan sosialisasi secara berimbang. Lebih baik, dikembalikan pada sistem yang lama, dimana biaya alat peraga untuk sosialisasi ditanggung oleh masing-masing pasangan calon. “Kalau sistem yang sekarang ini kan hanya memindahkan beban saja, kalau dulu ditanggung oleh para pasangan calon, sekarang ditanggung oleh negara,” ujarnya. Pilkada tahun ini memang menggunakan sistem yang berbeda dengan periode-periode sebelumnya. Alat dan bahan yang digunakan para pasangan calon untuk berkampanye ditanggung oleh KPU. Tujuannya, agar para pasangan calon tidak mengeluarkan banyak biaya, sehingga ketika nanti terpilih menjadi walikota, mereka tidak melakukan korupsi untuk mengembalikan modal saat berkampanye. Hanya saja, sistem yang baru ini juga tidak efektif. Terbatasnya anggaran negara untuk sosialisasi Pilkada juga membatasi jumlah alat peraga yang dikeluarkan. Sosialisasi yang dilakukan pun tidak merata, sehingga tidak banyak yang mengetahui alat peraga yang telah dipasang. “Kalau modal dikeluarkan oleh negara, justru negara sudah dirugikan lebih awal. Sosialisasinya tidak kena, negara sudah mengeluarkan biaya, nggak efektif kan?” ucap Thony sambil menghisap rokoknya. Thony mengaku bahwa tidak ada sistem yang sempurna. Setiap sistem memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. “Serba salah jadinya. Semua ada plus minusnya. Kalau dikendalikan oleh negara melalui KPU, anggapannya baik ternyata juga enggak,” imbuhnya. 

No comments:

Post a Comment